Cerpen Judul: Ingin Bisa Berbahasa Inggris
Cerpen
“Ingin Bisa Berbahasa Inggris”
Karya: Ipnuri Fatah
Hari masih pagi sekali ketika bus antar kota antar propinsi yang membawaku dari Ketapang, Banyuwangi tiba di Denpasar. Seluruh badan rasanya capek sekali. Papa kelihatannya sangat letih, setelah duduk sebentar dibangku terminal, papa langsung beranjak, “Tia, kita cari warung yuk!” ajak papa.
Papa langsung menggendongku, “Tolong tas-nya mama yang angkat ya?” kata papa. Mama hanya mengangguk, kelihatannya mama-pun juga letih. Namun terpancar ada rasa bahagia diwajah mama karena memang pergi ke Bali adalah impian mama.
Setahun lalu ketika kami berlebaran dirumah nenek, mama pernah bilang kepada papa kalau ia sangat ingin liburan ke Bali . “Pa, tahun ini mama tidak ambil cuti, mama ingin menabung agar tahun depan kita bisa liburan ke Bali,” kata mama.
“Tahun depan Tia kan sudah harus mulai sekolah?” sahut papa. “Ya, mama tahu, tapi perginya kan kita bisa sebelum masa pendaftaran murid baru dimulai,” jawab mama. “Okelah kalau gitu, jadi mulai sekarang kita semua harus hemat, jangan boros,” ajak papa.
“Bali itu apa-sih ma?” tanyaku, karena memang baru kali ini aku mendengar kata itu. Papa dan mama tersenyum. “Bali itu adalah suatu pulau yang indah, disana pantainya indah, ada pure dan ada tarian. Banyak orang yang datang ke sana. Tia nanti bisa ketemu dengan orang-orang bule seperti itu,” jelas mama sambil menunjuk teve yang saat itu acaranya telenovela.
“Waaaaah, Tia ikut donk ma! Pa, Tia diajak kan?” tanyaku. “Tentu, tapi mulai sekarang Tia tidak boleh banyak jajan,” Jawab mama. “Hore, hore, hore Tia pergi ke Bali,” Aku berteriak kegirangan sambil berlari mengelilingi meja kursi diruang tengah rumah nenek..
Rasanya sudah lama kami berputar-putar disekitar terminal itu, tapi papa belum juga menemukan warung yang cocok, padahal sudah banyak warung yang kami lewati. “Itu dia,” kata papa sambil menunjuk sebuah warung letaknya tidak terlalu jauh.
“Pa, kenapa sih lama sekali? Tia kan sudah lapar,” tanyaku pada papa setibanya di warung.
“Kita tidak boleh makan sembarangan, nanti kita bisa sakit perut,” jawab papa. Mama langsung memesan makanan dan secangkir kopi. Papa memang terbiasa minum kopi setiap pagi.
“Coba Tia lihat bedanya warung-warung yang di sana dengan warung ini?” tanya papa.
“Warung-warung itu terlihat kotor dan jorok sekali, sedangkan warung yang ini walaupun tidak besar tapi cukup bersih,” kata papa menjelaskannya padaku.
“Jam berapa kita ke Kute, Pa?” tanya mama sehabis kami sarapan.
“Apa capeknya sudah hilang?” Papa balik bertanya.
“Sudah,” jawab mama.
“Baiklah, kita berangkat sekarang agar tidak terlalu siang kita sampai di Kute,” sahut papa
Dari terminal Denpasar kami naik Taksi ke Kute. Mungkin karena terlalu capek sehabis perjalanan jauh, aku tertidur sehingga tidak bisa melihat-lihat suasana perjalanan ke Kute. Kami tidak tinggal di hotel yang mewah atau berbintang, tapi hanya sebuah penginapan kecil diperkampungan penduduk yang terletak tak jauh dari pantai. Didepan penginapan itu ada sebuah pure kecil. Tampak ada bekas sesajen di depannya, ada makanan dan bunga-bunga yang ditaruh di atas tampah kecil.
“Ma, makanan itu untuk apa ditaruh di situ, itu kan kotor?” tanyaku kepada mama. “Itu namanya sesajen, Orang-orang bali kalau sembahyang selalu mempersembahkan sesajen untuk dewanya, sedangkan kita tidak,” jawab mama. “kalau kita bersembahyang di Masjid, itu namanya sholat,” tamba mama.
“Ayo, ganti baju, kita akan mandi di pantai,” ajak papa yang sudah tak sabar ingin segera mandi di pantai. Aku dan mama bergegas ganti baju.
Hari itu ransanya bahagia sekali, kami semua bergembira, bercanda sambil main pasir di tepi pantai, terkadang mama dan papa main siram-siraman air. Aku berteriak-teriak sambil berlompatan meniru mama yang sedang digodain papa. “Tia… Tia…Tia, Mama… mama,” Papa berteriak memanggil sambil berlari menabrak ombak yang agak besar. “Hati-hati pa, jangan terlalu ke tengah, nanti tenggelam,” teriak mama pula.
Tak jarang aku melihat papa sedang ngobrol dengan orang bule. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. “Ma, papa ngomong apa sih, sama orang itu?” tanyaku sambil terus memperhatikan papa dan orang bule itu yang makin asyik ngobrolnya. Mama tersenyum, “Memang Tia tidak ngerti?” tanya mama kembali, aku hanya menggeleng. “Itu namanya bahasa Inggris, kalau mau ngomong dengan orang bule harus dengan bahasa Inggris,” kata mama.
“Kenapa bule itu tidak pakai bahasa Indonesia saja, ma?” Aku kembali bertanya. “Ya, karena orang bule itu bukan orang Indonesia,” jawab mama. “Papa kok bisa ngomong bahasa Inggris, kan papa bukan orang bule?” aku mendesak mama. “Papamu kan belajar, makanya papa bisa,” kata mama.
Melihat papa ngobrol rasanya asyik juga. Aku jadi ingin bisa ngomong bahasa Inggris agar nanti kalau aku sudah besar dan kembali ke sini bisa ngomong sama orang bule seperti papa.
Masa libur mama dan papa sudah habis, kami semua kembali ke Jakarta dengan bus yang dilanjutkan dengan kereta api.
“Pa, Tia mau belajar bahasa Inggris donk, Tia kan kepingin seperti papa,” pintaku setibanya di Jakarta. “Ya, kalau nanti Tia sudah sekolah TK dan tia pintar, papa akan daftarkan ke tempat kursus bahasa Ingris,” Jawab papa. “Atau kalau perlu Tia nanti papa sekolahkan ke luar negeri,” kata papa. “Nah, sekarang kan sudah malam, sudah jam sembilan, Kita bobo dulu agar bangunnya bisa pagi-pagi, karena besok papa dan mama sudah harus bekerja kembali,” tambah papa sambil menciumi pipiku.
“Ayo sekarang gosok gigi dulu, terus langsung masuk kamar. Jangan lupa sebelum tidur berdoa dulu, minta kepada Tuhan supaya keinginan Tia dikabulkan.”
Komentar
Posting Komentar