Beberapa hari ini
Dody tidak seperti biasanya. Pulang sekolah selalu tepat waktu dan langsung
masuk kamar. Terkadang sampai sore menjelang magrib baru keluar, karena memang
ia harus pergi belajar mengaji. “Den Dody akhir-akhir ini susah kalau
disuruh makan, Bu,” Bi Isa, pembantu rumah melaporkan sikap Dody kepadanya
ibunya. “Saya khawatir nanti bisa sakit lho Bu,” tambahnya sambil
menyuguhkan secangkir the manis.
“Den, ada temannya yang cari diluar, kasihan
lho Den, ia sudah lama menunggu,” Bi Isa beberapa kali mengetuk pintu kamar
Dody yang selalu dikunci dari dalam. Tapi Dody tidak juga keluar.
“Ach… Bibi, aku kan sudah bilang, kalau ada
yang cari bilangin aku tidak ada,” kesalnya dari dalam
kamar, Dody, tidak pernah mau menemui teman-temannya yang datang, Ia
selalu menyendiri dan murung. Seakan tak ada gairah untuk bermain seperti
teman-teman sebayanya.
Padahal semenjak Dody lulus SD dan masuk SLTP di
Bogor, ia selalu pulang terlambat. “Dari belajar di rumah teman Bu,”
atau “Ada pelajaran tambahan, karena mau ujian,” begitu jawabnya bila
ditanya. Ibu dan Bapaknya selalu percaya karena memang semenjak kecil Dody
tidak pernah berbohong. Ia jujur dan sangat hormat kepada Ibu dan Bapaknya.
Dody adalah anak yang cerdas dan pandai bergaul
sehingga banyak teman-teman di sekolahnya yang ingin menjadi sahabatnya. Mulai
dari kelas satu dia selalu jadi juara kelas bahkan Ia termasuk siswa SD yang
mendapat nilai NEM tertinggi di kota ini. Kegiatannya juga banyak,
baik kegiatan ekstrakurikuler di sekolah maupun dilingkungan rumahnya.
“Pak, cobalah sekali-kali ditanyakan kepada
teman-teman Dody di sekolah, atau kalau perlu kepada gurunya, barang kali ada
yang tahu mengapa Dody jadi begitu,” ibunya sangat prihatin terhadap sikap
Dody.
“Apa ibu sudah menanyakannya sendiri kepada Dody,
barang kali Ia menginginkan sesuatu tapi tidak berani mengatakannya kepada
kita?” kata bapaknya mencoba menenangkan ibunya yang semakin gelisah.
“Dod, selama ini bapak dan ibu selalu
menuruti semua keinginanmu, asal yang kamu minta itu untuk keperluan sekolah
atau kegiatan-kegiatan yang positif,” kata bapaknya saat mereka makan malam
bersama.
“Coba sekarang Dody cerita, mengapa
akhir-akhir ini suka menyendiri, suka murung dan tidak pernah mau menemui
teman-temanmu seperti biasanya,” sela ibunya sambil memandangi wajah Dody
yang memang agak pucat.
Dody hanya menunduk sambil meneruskan makan
malamnya, seakan-akan ia tak ingin menceritakan masalahnya pada
siapapun. “Nggak ada apa-apa kok Bu, Dody cuma lagi malas saja,” Dody
berusaha mengelak.
“Benar… nggak ada apa-apa?” desak ibunya.
Dody hanya menganggu pelan.
“Baiklah, minggu depan kamu kan sudah mulai
libur sekolah, bagaimana kalau kita pergi ke rumah pak de di Jogjakarta?
Biasanya kalau musim liburan sekolah, pak de-mu kan suka mengadakan
pesantren kilat. Selain rekreasi kamu bisa belajar banyak tentang agama,”
Ajak bapaknya yang berharap agar ada suasana baru buat Dody.
Seminggu berikutnya saat musim libur sekolah
tiba, Dody beserta Bapak dan ibunya berangkat ke Jogjakarta. Di Jogja Dody bertemu
dengan teman-teman baru, mereka adalah murid-murit pesantren kilat yang di
adakan oleh pak de-nya. Namu suasana itu tampaknya tidak dapat merubah perasaan
Dody. Ia mengikuti semua kegiatan tanpa gairah. Namun demikian masih saja
banyak teman-teman barunya yang suka kepadanya. Itu karena Dody orangnya ramah
kepada orang. Melihat itu, bapak dan ibunya semakin bingung. Seolah tak ada
jalan lagi untuk membuat Dody berubah. Ia masih suka melamun sendiri.
Sudah lima hari lamanya ia berada di Jogjakarta.
Sudah banyak pelajaran-pelajaran agama yang diperoleh Dody dari kegiatan. Dua
hari lagi mereka harus kembali ke Jakarta, karena masa liburan sudah hampir
habis.
Ibu dan Bapaknya kaget ketika melihat Dody tiba-tiba
menangis sepulang dari pesantren hari itu, “Dody minta maaf Bu…, Pak, selama
ini Dody sudah bohong kepada ibu dan bapak,” Dody berdiri menunduk didepan
ibu dan bapaknya. Air matanya terus mengalir di pipinya.
“Kamu sudah berbohong apa, Dy? Ibu kira
selama ini kamu baik-baik saja. Makanya ibu dan bapak percaya,” kata ibunya
lembut sambil memandangi wajah Dody yang masih berdiri depannya.
“Selama ini Dody tidak langsung pulang
kerumah seusai sekolah, Dody sering main dulu di stasiun dan terkadang Dody
ikut naik kereta sampai ke stasiun kota. Makanya Dody selalu terlambat sampai
di rumah,” isak tangis Dody makin menjadi.
Rupanya pelajaran yang ia peroleh hari ini dari
pesantren kilat telah menyadarkan Dody. Hari ini pak de-nya menerangkan tentang
hukumnya seseorang bila berbohong. “Tuhan tidak suka dengan orang-orang yang
suka bohong, dan Tuhan akan memasukkannya ke neraka,” itu salah satu
pelajaran yang diterangkan oleh pak de-nya.
“Lalu mengapa beberapa hari ini kamu selalu
murung dan suka menyendiri di kamar?” bapaknya seolah tidak percaya bahwa Dody
sudah berbohong kepadanya.
“Dody sedih, karena Acul, teman Dody
meninggal jatuh dari atas gerbong kereta listrik,” Dody semakin ketakutan
akan dimarahi oleh bapak ibunya.
“Jadi kamu suka mainan di atap gerbong
kereta listrik?” Ibunya terhentak mendengar cerita Dody. Ia heran terhadap
sikap Dody yang selama ini dikenal baik, jujur dan penurut. Kini Dody telah
jadi anak nakal karena terpengaruh teman-temannya.
“Dody tidak pernah ikutan naik di atas
gerbong kereta, Bu, Dody hanya naik di tempat penumpang,” Dody berusaha
meyakinkan ibu dan bapaknya. “Dody sekarang kapok, Dody tidak akan
mengulanginya lagi, Dody tidak mau masuk neraka,” tambah Dody sambil tetap
menunduk.
“Baiklah, bapak dan ibu percaya Dody tidak
akan mengulanginya lagi. Naik di atap gerbong kereta listrik itu berbahaya,
selain bisa jatuh juga bisa terkena strom, kalaupun selamat akan banyak orang
yang tidak suka kepadamu, karena kamu dianggap anak nakal,” bapaknya
mencoba menasehati Dody yang melai sadar dengan perbuatannya.
“Karena Dody sudah sadar, maka besok lusa
kita sudah bisa pulang ke Jakarta, tapi sebelum pulang besok malam kita
jalan-jalan dulu ke Malioboro sambil membeli oleh-oleh buat Bi Isa dan
teman-temanmu di sekolah,” ajak bapaknya yang sudah merasa
tenang karena Dody sadar dan selamat dari pengaruh kenakalan remaja.
“Jangan lupa pamitan dulu sama teman-temanmu,
di pesantren, kalau perlu kasih alamat, barangkali ada yang ingin kirim surat
untukmu,” Tambah ibunya sambil tersenyum lega karena Dody
kembali jadi anak yang baik.
Komentar
Posting Komentar