Cerpen: Sampah Bungkus Rokok
Cerpen
Sampah Bungkus Rokok
Oleh : Ipnuri Fatah (06 Desember 1999)
“Anak-anak, mulai hari senin, untuk sementara kalian akan di ajar oleh Pak Suwondo. Saya minta kalian tetap belajar seperti biasa, dan tolong agar jangan sampai ada masalah selama saya tidak ada,” Pak Burhan, guru wali kelasku memberitahukan panjang lebar tentang rencana cutinya selama satu bulan. Ia akan berbulan madu bersama calon istrinya ke Gunung Kidul, desa kelahirannya setelah acara pernikahannya malam minggu besok.
Pak Wondo yang berada disebelahnya hanya tersenyum sambil menebar pandangannya hampir ke seluruh ruangan kelas 5. Sebenarnya Pak Wondo juga bukan orang baru disekolah ini. Ia adalah guru olah raga dan kesenian.
Setelah keduanya saling memberi pesan kepada siswa kelas 5, Pak Suwondo langsung keluar meninggalkan kelas. “Baiklah, sampai jumpa hari senin,” Demikian kata diakhir pesannya. Sedangkan pak Burhan memulai pelajaran seperti biasa.
Sepanjang jalan, sepulang sekolah, teman-teman sudah mulai membicarakan hadiah sebagai kado perkawinan buat pak Burhan. “Aku ngasih Pulpen saja, untuk Pak Burhan,” kata Roy. “kalau aku mau ngasih sepatu yang bagus,” sahut Wisnu yang memang anak orang kaya, sehingga tidak ada masalah untuk membelikan hadiah yang paling mahal sekalipun.
Tapi aku, mana mungkin orang tuaku bisa membelikan sepatu, baju atau barang-barang mahal sejenisnya. Apa lagi untuk orang lain, untuk beli baju sekolahku saja orang tuaku harus pinjam uang kesana-kemari.
Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan hadiah apa yang bisa aku berikan untuk pernikahan pak Burhan? Keesokan harinya sebelum pelajaran dimulai, teman-teman menceritakan kalau rencananya untuk membeli hadiah sudah di setujui oleh orang tuanya.
Aku jadi tambah bingung, antara minta sama orang tua atau tidak. Kalau aku minta, mungkinkah mereka akan memberinya, sedangkan untuk makan sehari-hari saja mereka hanya mengandalkan berjualan rokok di depan rumah. Tapi kalau tidak minta dari mana aku mendapakan uang untuk membeli hadiah itu?
“Rencananya mau kamu belikan apa gurumu itu, San?” tanya ibu ketika aku sudah tidak tahan lagi untuk tidak menceritakan. “Ibu cuma ada dua ribu, cukup apa nggak?” Ibu mengambilkan uang dari dompetnya. Aku hanya mengangguk. Sebenarnya aku tidak sampai hati, walau sebenarnya uang itu masih belum cukup untuk membeli hadiah yang paling murah sekalipun.
Sorenya aku berusaha mencari hadiah yang harganya tidak lebih dari dua ribu rupiah. Lama aku berputar-putar dari toko yang satu ke toko yang lain, dari pasar yang satu ke pasar yang lain. Tapi rupanya aku tidak akan berhasil. Akhirnya aku istirahat duduk di trotoar, di depan sebuah galeri lukisan.
Aku melihat ada sebuah lukisan yang terbuat dari kombinasi bulu ayam dengan kapas. Indah sekali, lukisan seekor ayam jantan dan betina. Pandangan mataku semakin tak kulepaskan dari lukisan itu. Imajinasiku mulai berjalan, aku berharap ada yang dapat aku perbuat dari gambaran itu.
Aku mulai memikirkan sampah bekas bungkus rokok yang begitu banyak dirumahku. Tapi, apa yang dapat aku buat dengan bungkus rokok itu?
“Perahu layar,” aku bergumam ketika aku menemukan ide bahwa sampah bungkus rokok itu bisa aku buat menjadi lukisan sebuah perahu layar. Seketika aku beranjak dan lari sekencang-kencangnya agar segera sampai dirumah.
“Ada apa sand? Nanti pintunya rusak!” Ibu sedikit marah ketika aku membuka pintu terlalu keras. “Bu, Sandy minta bungkus rokoknya ya?” Aku penuh semangat membuka pengikat karung tempat ibu menyimpan sampah bungkus rokok. “Untuk apa? Itu kan mau ibu jual, besok orangnya yang mau beli akan datang,” ibu sedikit keberatan, tapi aku tidak memperdulikannya.
Satu demi satu bungkus rokok itu aku gunting dan aku rangkai di atas papan triplek bekas alas kandang ayam yang sudah aku bersihkan dan aku lapisi dengan kertas manila putih.. Aku pilih warna yang cocok untuk badan perahu, untuk tiang layar, untuk ruang nahkoda, untuk langit dan awan serta untuk air lautnya. Bingkainya aku buat dari bambu yang aku lapisi kertas grenjeng, bungkus rokok bagian dalam.
“Maaf pak, besok saja kembali, biar aku rapikan dulu, soalnya masih berantakan, belum aku karungin,” ketika pembelinya datang ibu berusaha menunda untuk menjual sampah bungkus rokok itu setelah ibu tahu maksudku.
Hari Jumát pak Burhan berpamitan kepada kami. Satu persatu teman-teman maju kedepan untuk mengucapkan selamat dan memberikan hadiah yang sudah dipersipakan. Pak Burhan menumpuknya di atas meja guru.
Semua teman-teman tampaknya sudah mengucapkan selamat dan sudah memberikan hadiahnya. “Bapak sangat berterima kasih atas perhatian kalian dan hadiah-hadiah ini,” kata pak Burhan.
Aku semakin bimbang untuk memberikan hadiah ini. Apalagi melihat bungkus kado dari teman-teman sangat bagus-bagus dengan warna yang cerah-cerah, sedang kadoku hanya aku bungkus dengan kertas koran.
“Baiklah bapak cukupkan sekian dulu, bapak berharap kalian ingat dengan pesan yang sudah bapak sampaikan..,” pak Burhan dan teman-teman seketika mengarahkan pandangannya padaku ketika aku memotong pembicaraan pak Burhan. “Sebentar pak! Ini sekedar hadiah dari saya, walau ini saya buat dengan tangan saya sendiri saya berharap bapak menyukainya,” suaraku gugup, badanku gemeteran, takut ditertawai teman-teman.
“Apa ini Sand,” tanya pak Burhan. Aku diam tidak menjawabnya. Detak jantungku semakin kencang ketika kulihat pak Burhan membuka hadiah itu di depan kelas. Perlahan lahan keringat dingin mulai membasahi sebagian bajuku.
“Wow, indah sekali,” pak Burhan terkesan, tapi aku belum percaya kalau pak Burhan akan menyukainya. Perlahan aku pandangi wajah teman-teman satu persatu, ada yang menggelengkan kepala, ada yang mengangguk, ada yang menggigit bibirnya dan sebagainya, menunjukkan bahwa mereka juga terkesan.
Aku melirik ke arah pak Burhan, ia sedang memandangku.”Sandy, sini mendekat,” aku diam tidak beranjak. Akhirnya pak Burhan yang mendekatiku. “Sandy, karyamu bagus sekali, bapak bangga dan senang, terima kasih banyak atas hadiah itu. Teruskan bakatmu, bapak akan mencoba membimbingmu setelah bapak masuk kembali,” Seketika udara di ruang kelas itu terasa sejuk.
“Sampai jumpa sebulan mendatang,” dengan wajah cerah menebar senyum pak Burhan meninggalkan kelas.
Komentar
Posting Komentar