POLISI TIDUR CERMIN BESAR BUDAYA MASYARAKAT

ipunuri.blogspot.com - (5/12/17) Mencegah pengemudi kendaraan yang ugal-ugalan bukanlah perkara yang mudah bagi petugas lalu lintas. Berbagai peraturan dan tanda peringatan yang banyak terpasang di sisi jalan sering kali diabaikan begitu saja oleh para pengendara. Bahkan kita harus berkorban mengurangi kenyamanan kita dengan membangun polisi tidur di jalan yang sdh kita bangun dengan biaya besar.

Polisi Tidur, memang masalah kecil, tapi menurut saya, justru itu cerminan besar Mental kita. Bayangkan, kita merusak keindahan jalan, dengan dalih keselamatan.

Lucu memang ???. dengan bermaksud cegah orang ngebut, bahkan agar tidak terjadi kecelakaan tapi saya membuat polisi tidur yang jelas merusak jalanan. Jalan yang semula dibuat licin dengan biaya mahal, harus saya rusak sendiri dengan membuat polisi tidur.

Saya jadi ingat, waktu pelihara bebek, terpaksa bikin pagar untuk mencegah bebek-bebek saya bermain ke halaman tetangga. Jelas saja, bebek kan gak bisa dibilangin atau dicegah dengan diberi tulisan ???

Saya bahkan pernah mendapati, ada satu lingkungan rumah, yang jarak antara satu polisi tidur dengan polisi tidur lainnya cuma berkisar 3-5 meter saja, dan panjang jalan itu sekitar 400m Begitu sampai di ujung jalan, langsung mules perut saya. Miris gak sih ???

Tata Tertib sudah dibuat, himbauan agar warga tidak ngebut sudah sering, malah kadang saat kami tegur, kami diledek oleh anak-anak tanggung yang merasa tidak nyaman kami tegur. Polisi tidur sudah banyak kami buat, anggaran membuat polisi tidur tidak kurang dari 6 juta waktu itu. Tapi pengendara masih juga ngebut.

Kita harus membangun mental masyarakat yang toleransi, saling melindungi, dan tentu saja Sadar Hukum. Bayangkan ... Betapa eloknya kalau setiap pengemudi motor/ mobil, betul-betul punya kesadaran, sehingga tidak ngebut ketika melintasi jalanan di lingkungan rumah (Bukan karena adanya Polisi Tidur).

Presiden Jokowi mencanangkan Revolusi Mental. Apa maksudnya ?. Bagi saya pribadi, itu soal perilaku, yaitu Tidak Merugikan pihak lain, Jujur, Menghargai Waktu, Giat Bekerja, Saling Tolong/ Gotong Royong. Karena itulah Watak Asli Bangsa Indonesia.

Mengharap kepada RW saja untuk berbuat itu sangatlah tidak elok (tidak bijaksana). Di dalam membangun lingkungan partisipasi warga harus ada. Sisa iuran warga yang hanya Rp.1,500,- perKK/perBulan atau Rp.481.500 perbulan sangatlah jauh dari kata cukup. Bahkan dengan kenaikan Iuran yang akhir bulan Oktober lalu kita putusnya, itu juga masih minim bila yang harus diperhatikan adalah seluruh lingkungan. Karenanya untuk membangun lingkungan selain kewajiban yang normative, sangat diperlukan perhatian lebih dari warga. (Noer69



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen "Oji Si Tukang Ojek Payung"

Materi Khutbah Idul Fitri 1429H

Biografi Salahuddin Al Ayubi